perkembangan syiah ilustrasi

Syiah dan Perbedaanya dengan ISIS

Diposting pada

Syiah, atau lebih lengkapnya dikenal sebagai mazhab Syiah dalam Islam, bukanlah sekadar isu sederhana yang bisa digeneralisasi menjadi sesuatu yang hanya berkaitan dengan ISIS. Pada dasarnya, ISIS dan Syiah adalah dua entitas yang sangat berbeda, baik dalam pandangan ideologis maupun dalam praktik keagamaan. ISIS adalah organisasi teroris yang menggunakan kekerasan ekstrem untuk mencapai tujuan politiknya. Sementara itu, mazhab Syiah, seperti halnya Sunni, merupakan aliran dalam Islam yang memiliki akar sejarah, tradisi, dan pandangan yang kaya. Syiah dan Sunni pada dasarnya berlandaskan keyakinan kepada Allah, mengikuti Rasulullah Muhammad, serta meyakini pokok-pokok ajaran Islam, meskipun ada perbedaan dalam penafsiran sejarah dan kepemimpinan Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad.

Syiah lebih menitikberatkan penghormatan dan kecintaan kepada keluarga Nabi, khususnya Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra beserta keturunannya. Keyakinan ini berkembang sejak masa awal Islam, khususnya setelah wafatnya Khalifah Ali dan peristiwa tragis yang menimpa cucunya, Husain, di Karbala. Sejak saat itu, sebagian umat Islam meyakini bahwa para pemimpin sah (imam) harus berasal dari garis keturunan Ali dan Fatimah. Adapun pelopor gerakan ini adalah tokoh-tokoh yang meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam harus berada di tangan keluarga Nabi, seperti yang diutarakan oleh pendukung Ali di masa Dinasti Umayyah. Perebutan kekuasaan politik pada masa itu menyebabkan perpecahan, yang kemudian melahirkan perbedaan mazhab ini.

Syiah juga dikenal dengan konsep imamah, di mana mereka meyakini keberadaan imam-imam tertentu yang memiliki otoritas spiritual dan bimbingan keagamaan. Dalam tradisi Syiah, ada yang meyakini tujuh imam (Ismailiyah) atau dua belas imam (Itsna Asyariyah). Di Indonesia, ajaran ini sering dibandingkan dengan konsep Wali Songo, yaitu tokoh-tokoh suci yang diyakini memiliki peran besar dalam penyebaran Islam. Namun, pengagungan terhadap keturunan Ali oleh Syiah bukan berarti sebuah ajaran radikal. Mereka lebih menghargai peran spiritual keturunan Nabi sebagai pemimpin, bukan sebagai pemimpin yang harus memegang kendali politik secara mutlak.

Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dinasti besar dalam sejarah Islam yang didirikan pada abad ke-10. Dinasti ini berdiri pada 909 M di wilayah Afrika Utara, lebih tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tunisia, sebelum akhirnya memperluas kekuasaannya hingga ke Mesir. Dinasti ini mendirikan Kairo sebagai ibu kotanya dan juga membangun Universitas Al-Azhar, yang menjadi pusat pembelajaran Islam.

Pendiri Dinasti Fatimiyah adalah Abdullah al-Mahdi Billah, yang diyakini sebagai keturunan dari Fatimah Azzahra (putri Nabi Muhammad) dan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan Syiah Ismailiyah, Abdullah al-Mahdi Billah dianggap sebagai imam yang sah. Dinasti ini mengambil namanya dari Fatimah Azzahra, untuk menegaskan bahwa para penguasanya adalah keturunan langsung Nabi Muhammad.

Salah satu sultan yang menonjol dan juga diakui sebagai imam besar dalam tradisi Syiah Ismailiyah adalah Al-Hakim bi-Amr Allah. Ia memerintah dari 996 hingga 1021 M dan menjadi tokoh yang cukup kontroversial karena kebijakannya yang dianggap unik dan misterius. Al-Hakim bi-Amr Allah menjadi pusat perhatian dalam sejarah Fatimiyah karena peran spiritual dan politiknya yang kuat.

Dinasti Fatimiyah sendiri bukan hanya berfokus pada aspek politik, tetapi juga sangat terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, seni, dan arsitektur. Mereka memimpin dengan semangat keagamaan yang menghormati keturunan Nabi, tetapi juga mengembangkan pemerintahan yang cukup toleran terhadap berbagai komunitas agama lain yang hidup di bawah kekuasaan mereka.

Penting untuk memahami bahwa Syiah yang sejati berfokus pada penghormatan dan kecintaan terhadap keluarga Nabi, bukan pada ajakan untuk kekerasan atau perang. Jika di Indonesia ada kelompok yang mengatasnamakan Syiah tetapi melakukan tindakan militan atau menyerukan perang seperti ISIS, itu jelas bukan cerminan ajaran Syiah yang sesungguhnya. Syiah yang murni tidak mendukung kekerasan, melainkan lebih menekankan kecintaan pada keturunan Nabi serta ajaran yang berlandaskan damai. Misalnya, peran Iran (yang mayoritas penduduknya menganut Syiah) dalam konflik Gaza menunjukkan kepedulian terhadap Palestina, meskipun ada perbedaan politik yang kompleks. Di sisi lain, ISIS, meskipun mengklaim identitas Islam, tidak menunjukkan komitmen pada nilai-nilai damai atau solidaritas semacam itu.

Sementara Syiah modern yang dibawa oleh Ayatullah Khomeini di Iran menekankan pada revolusi Islam yang berbasis pada keadilan sosial dan kedaulatan independen, hal ini sangat jauh berbeda dari ideologi yang diusung oleh ISIS. Syiah Khomeini lebih berfokus pada perlawanan terhadap ketidakadilan dan menjaga kehormatan Islam dalam konteks politik internasional. Sedangkan ISIS menggunakan metode kekerasan yang mengarah pada tindakan teror dan penindasan, yang tidak mencerminkan ajaran damai dalam Islam.

Syiah di Indonesia pun, sebagaimana umat Muslim lainnya, hidup berdampingan dengan damai. Walaupun ada perbedaan, banyak penganut Syiah yang hanya berfokus pada aspek spiritual ajaran mereka, seperti ziarah dan peringatan-peringatan hari besar, tanpa terlibat dalam konflik yang bersifat politik atau militan. Jadi, meskipun ada pengaruh-pengaruh politik, inti ajaran Syiah adalah tentang penghormatan kepada keluarga Nabi, bukan soal peperangan atau kekerasan.

Syiah, atau lebih lengkapnya dikenal sebagai mazhab Syiah dalam Islam, bukanlah sekadar isu sederhana yang bisa digeneralisasi menjadi sesuatu yang hanya berkaitan dengan ISIS. Pada dasarnya, ISIS dan Syiah adalah dua entitas yang sangat berbeda, baik dalam pandangan ideologis maupun dalam praktik keagamaan. ISIS adalah organisasi teroris yang menggunakan kekerasan ekstrem untuk mencapai tujuan politiknya. Sementara itu, mazhab Syiah, seperti halnya Sunni, merupakan aliran dalam Islam yang memiliki akar sejarah, tradisi, dan pandangan yang kaya. Syiah dan Sunni pada dasarnya berlandaskan keyakinan kepada Allah, mengikuti Rasulullah Muhammad, serta meyakini pokok-pokok ajaran Islam, meskipun ada perbedaan dalam penafsiran sejarah dan kepemimpinan Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad.

Syiah lebih menitikberatkan penghormatan dan kecintaan kepada keluarga Nabi, khususnya Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra beserta keturunannya. Keyakinan ini berkembang sejak masa awal Islam, khususnya setelah wafatnya Khalifah Ali dan peristiwa tragis yang menimpa cucunya, Husain, di Karbala. Sejak saat itu, sebagian umat Islam meyakini bahwa para pemimpin sah (imam) harus berasal dari garis keturunan Ali dan Fatimah. Adapun pelopor gerakan ini adalah tokoh-tokoh yang meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam harus berada di tangan keluarga Nabi, seperti yang diutarakan oleh pendukung Ali di masa Dinasti Umayyah. Perebutan kekuasaan politik pada masa itu menyebabkan perpecahan, yang kemudian melahirkan perbedaan mazhab ini.

Syiah juga dikenal dengan konsep imamah, di mana mereka meyakini keberadaan imam-imam tertentu yang memiliki otoritas spiritual dan bimbingan keagamaan. Dalam tradisi Syiah, ada yang meyakini tujuh imam (Ismailiyah) atau dua belas imam (Itsna Asyariyah). Di Indonesia, ajaran ini sering dibandingkan dengan konsep Wali Songo, yaitu tokoh-tokoh suci yang diyakini memiliki peran besar dalam penyebaran Islam. Namun, pengagungan terhadap keturunan Ali oleh Syiah bukan berarti sebuah ajaran radikal. Mereka lebih menghargai peran spiritual keturunan Nabi sebagai pemimpin, bukan sebagai pemimpin yang harus memegang kendali politik secara mutlak.

Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dinasti besar dalam sejarah Islam yang didirikan pada abad ke-10. Dinasti ini berdiri pada 909 M di wilayah Afrika Utara, lebih tepatnya di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Tunisia, sebelum akhirnya memperluas kekuasaannya hingga ke Mesir. Dinasti ini mendirikan Kairo sebagai ibu kotanya dan juga membangun Universitas Al-Azhar, yang menjadi pusat pembelajaran Islam.

Pendiri Dinasti Fatimiyah adalah Abdullah al-Mahdi Billah, yang diyakini sebagai keturunan dari Fatimah Azzahra (putri Nabi Muhammad) dan Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan Syiah Ismailiyah, Abdullah al-Mahdi Billah dianggap sebagai imam yang sah. Dinasti ini mengambil namanya dari Fatimah Azzahra, untuk menegaskan bahwa para penguasanya adalah keturunan langsung Nabi Muhammad.

Salah satu sultan yang menonjol dan juga diakui sebagai imam besar dalam tradisi Syiah Ismailiyah adalah Al-Hakim bi-Amr Allah. Ia memerintah dari 996 hingga 1021 M dan menjadi tokoh yang cukup kontroversial karena kebijakannya yang dianggap unik dan misterius. Al-Hakim bi-Amr Allah menjadi pusat perhatian dalam sejarah Fatimiyah karena peran spiritual dan politiknya yang kuat.

Dinasti Fatimiyah sendiri bukan hanya berfokus pada aspek politik, tetapi juga sangat terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan, seni, dan arsitektur. Mereka memimpin dengan semangat keagamaan yang menghormati keturunan Nabi, tetapi juga mengembangkan pemerintahan yang cukup toleran terhadap berbagai komunitas agama lain yang hidup di bawah kekuasaan mereka.

Penting untuk memahami bahwa Syiah yang sejati berfokus pada penghormatan dan kecintaan terhadap keluarga Nabi, bukan pada ajakan untuk kekerasan atau perang. Jika di Indonesia ada kelompok yang mengatasnamakan Syiah tetapi melakukan tindakan militan atau menyerukan perang seperti ISIS, itu jelas bukan cerminan ajaran Syiah yang sesungguhnya. Syiah yang murni tidak mendukung kekerasan, melainkan lebih menekankan kecintaan pada keturunan Nabi serta ajaran yang berlandaskan damai. Misalnya, peran Iran (yang mayoritas penduduknya menganut Syiah) dalam konflik Gaza menunjukkan kepedulian terhadap Palestina, meskipun ada perbedaan politik yang kompleks. Di sisi lain, ISIS, meskipun mengklaim identitas Islam, tidak menunjukkan komitmen pada nilai-nilai damai atau solidaritas semacam itu.

Sementara Syiah modern yang dibawa oleh Ayatullah Khomeini di Iran menekankan pada revolusi Islam yang berbasis pada keadilan sosial dan kedaulatan independen, hal ini sangat jauh berbeda dari ideologi yang diusung oleh ISIS. Syiah Khomeini lebih berfokus pada perlawanan terhadap ketidakadilan dan menjaga kehormatan Islam dalam konteks politik internasional. Sedangkan ISIS menggunakan metode kekerasan yang mengarah pada tindakan teror dan penindasan, yang tidak mencerminkan ajaran damai dalam Islam.

Tidak hanya itu, Hari Asyura adalah peringatan tahunan yang sangat penting bagi umat Syiah, khususnya mereka yang sangat mencintai dan menghormati keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra. Perayaan ini memperingati peristiwa tragis di Karbala, ketika Imam Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, dan para pengikutnya dibunuh secara brutal oleh pasukan Yazid bin Muawiyah pada tahun 680 M. Peristiwa ini menjadi simbol besar penderitaan, ketidakadilan, dan perlawanan terhadap penindasan, yang dihayati oleh umat Syiah dengan penuh duka dan kesedihan.

Di beberapa negara, seperti Irak, Iran, Lebanon, Pakistan, dan India, perayaan Asyura berlangsung dengan ritual yang cukup mengerikan bagi sebagian orang. Beberapa penganut Syiah melakukan bentuk-bentuk penyiksaan diri, seperti memukul dada, mencambuk punggung dengan rantai, dan bahkan melukai diri dengan benda tajam hingga berdarah-darah. Ritual ini dilakukan sebagai upaya untuk merasakan, meskipun hanya sejenak, penderitaan luar biasa yang dialami oleh Imam Husain dan keluarganya di Karbala. Mereka ingin mengekspresikan kesedihan yang mendalam dan solidaritas dengan pengorbanan Imam Husain, yang dalam sejarah Islam Syiah dipandang sebagai lambang keberanian dan keimanan yang murni.

Bagi banyak orang yang menyaksikan ritual ini, pemandangannya bisa sangat menggetarkan hati, bahkan memunculkan rasa ngeri. Darah yang mengalir dan luka yang terlihat di tubuh para peserta ritual adalah ekspresi empati yang ekstrem, di mana mereka rela menyakiti diri sendiri sebagai bentuk cinta dan penghormatan yang begitu besar kepada Imam Husain. Kendati demikian, praktik ini menuai perdebatan di antara umat Muslim, baik Syiah maupun Sunni, karena sebagian ulama tidak setuju dengan tindakan menyakiti diri. Mereka lebih menyarankan agar Asyura dirayakan dengan doa, sedekah, dan refleksi spiritual tanpa menyiksa tubuh sendiri.

Syiah di Indonesia pun, sebagaimana umat Muslim lainnya, hidup berdampingan dengan damai. Walaupun ada perbedaan, banyak penganut Syiah yang hanya berfokus pada aspek spiritual ajaran mereka, seperti ziarah dan peringatan-peringatan hari besar, tanpa terlibat dalam konflik yang bersifat politik atau militan. Jadi, meskipun ada pengaruh-pengaruh politik, inti ajaran Syiah adalah tentang penghormatan kepada keluarga Nabi, bukan soal peperangan atau kekerasan.

Tinggalkan Balasan